LOCUSONLIONE, JAKARTA — Di negeri yang kadang lebih percaya asumsi daripada autopsi, kematian seorang guru muda bernama Dindin Rinaldi Choerul Insan (29) justru dilabeli “bunuh diri” tanpa perlu repot-repot menghadirkan saksi mata, bukti ilmiah, apalagi logika. Senin, 14 Juli 2025
Ditemukan tewas di samping rel kereta api Sidareja, Cilacap, jenazah Dindin justru lebih utuh dari penjelasan polisi. Tubuhnya lengkap, tak tercerai-berai seperti korban kereta pada umumnya, namun malah diberi vonis mati menabrakkan diri. Polisi tampaknya sangat percaya diri dengan kesimpulan tersebut, meski tak ada satu pun saksi yang melihatnya melompat, apalagi menyetir kereta.
Kuasa hukum keluarga, Asep Muhidin, kini harus berjuang dari jalur hukum hingga jalur aspirasi rakyat—mendatangi Komisi III DPR RI untuk menuntut keadilan yang terasa makin asing di republik ini. Ia meminta DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan aparat penegak hukum demi menguak misteri yang disembunyikan di balik rel dan kejanggalan laporan.
“Leher patah, kaki patah, pinggang patah, tapi jasad utuh. Kalau ini bukan plot film thriller, lalu apa?” sindir Asep di hadapan awak media, Senin (14/7/2025).
Ia pun mengungkap hasil investigasi keluarga: luka lebam di wajah, telinga robek, sayatan di tangan, dan lubang misterius di betis kiri. Dugaan mereka, Dindin dilipat seperti cucian dalam koper, bukan melompat ke rel. Tapi permintaan eksumasi untuk membuktikan hal itu justru ditolak, seolah fakta bisa ditutup hanya dengan narasi.
Baca Juga : Mencari Keadilan Melalui RDP ke Komisi III DPR RI, Advokat: Polri Harus Paparkan Tentang Scientifik Crime Investigation
Tak berhenti di situ, bercak darah di kontrakan korban di Pangandaran pun seperti dianggap dekorasi rumah biasa. Belum diidentifikasi, belum ditindaklanjuti. Dua kali surat dikirim ke Polresta Cilacap, tapi jawabannya nihil—diam seribu kata. Mabes Polri dan Polda Jawa Tengah juga tampak ikut dalam lomba tutup telinga nasional.
