“RUU Perampasan Aset lahir dengan janji mulia: melawan korupsi. Tapi kalau mekanisme “ambil dulu, buktikan belakangan” dipaksakan, jangan-jangan negara berubah jadi super collector: piawai mengambil, payah mengembalikan.”
LOCUSONLINE, JAKARTA – Wamenkum HAM Eddy Hiariej menyodorkan ide “pemulihan aset” tanpa harus menunggu putusan pengadilan. Bagi rakyat jelata, istilah keren itu dikenal dengan nama: disita dulu, urusan belakangan.
Selama ini, hukum Indonesia masih pakai cara konvensional: menunggu hakim memutuskan. Namun, lewat RUU Perampasan Aset, negara ingin punya jurus baru bernama non-conviction based asset forfeiture (NCBAF). Singkatnya, harta bisa diambil tanpa vonis.
“NCBAF ini harus kita kelola karena dia bukan hukum acara pidana, juga bukan hukum acara perdata,” kata Eddy, seolah hukum bisa dibuat jalur tol khusus.
Baca Juga : Bapak Aing Hemat untuk Semua, Boros untuk Saku Oprasional Gubernur
Menariknya, Eddy juga tak suka kata “perampasan”. Terlalu seram katanya. Hukum internasional lebih suka istilah asset recovery alias pemulihan aset. Tapi bukankah yang dipulihkan tetap lewat cara merampas? Bedanya hanya kosmetik bahasa.
“Perampasan aset adalah bagian kecil dari pemulihan aset,” ujarnya.
Kalau begitu, rakyat tinggal menunggu kapan istilah pajak diganti jadi “sumbangan sukarela wajib”.
Di atas kertas, RUU ini untuk menjerat koruptor bandel. Tapi di lapangan, rakyat bisa saja ketar-ketir. Kalau aset bisa disita tanpa vonis hakim, siapa yang menjamin tak ada salah alamat?
DPR sendiri sudah sepakat, RUU ini masuk daftar prioritas 2025. Jadi, jangan heran kalau ke depan negara bisa lebih gesit dalam urusan menyita ketimbang memperbaiki hukum acara pidana.(Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”