featuredGarut

“Mafia Pupuk” vs Realita Lapangan: Ada yang Bohong, atau Regulasi yang Terlalu Kaku di Garut?

asepahmad
×

“Mafia Pupuk” vs Realita Lapangan: Ada yang Bohong, atau Regulasi yang Terlalu Kaku di Garut?

Sebarkan artikel ini

Isu "mafia" pupuk di Garut menyisakan teka-teki: siapa yang salah? Petugas lapangan bingung, petani kesal, sementara pupuk dijual di atas harga patokan dengan alasan "biaya tambahan".

Mafia Pupuk vs Realita Lapangan locusonline featured image

[Locusonline.co, GARUT] – Badai isu “mafia pupuk” yang menerpa Kabupaten Garut sejak Oktober lalu ternyata belum reda. Isu yang menggegerkan ini menyebut adanya praktik penjualan pupuk subsidi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Namun, ketika dikonfirmasi, para pelaku di lapangan justru menyangkal sambil menunjukkan sejumlah “titik krusial” dalam sistem distribusi yang disebut-sebut sebagai biang kerok sebenarnya.

Di satu sisi, ada tuntutan tegas dari petani agar harga sesuai regulasi. Di sisi lain, distributor dan penyalur mengangkat tangan sambil berdalih: “Harga Rp2.000/kg itu wajar karena ada biaya bongkar muat dan ongkos kirim ke kebun.”

tempat.co

Harga Resmi Turun, Tapi Kenapa di Lapangan Naik?

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia pada Oktober 2025, harga pupuk subsidi jenis urea resmi diturunkan dari Rp2.300 per kilogram menjadi Rp1.800 per kilogram, atau setara Rp90.000 per karung 50kg. Namun, investigasi di lapangan menemukan fakta yang berbeda.

“Beredar berita bahwa ada sejumlah kios menjual pupuk di atas HET. Kami merasa bingung dengan kios yang dimaksud, karena tidak dijelaskan dengan rinci,” ujar Aris, Ketua P3I (Kumpulan Penyalur Pupuk Indonesia) Kabupaten Garut, kepada locusonline.co.

Aris mengklaim bahwa di wilayah yang dia pantau, khususnya Kecamatan Kadungora, penjualan sudah sesuai HET. Namun, dia mengakui adanya kemungkinan selisih harga jika ada “biaya tambahan” seperti ongkos angkut dari kios ke kebun petani.

“Regulasi pemerintah tentang HET untuk Urea Rp90.000 dan Phonska Rp92.000. Jikapun ada yang lebih dari Rp90.000 menjadi Rp95.000, itu ditambah harga ongkos dari kios ke tempat petani,” jelasnya.

Pernyataan ini membuka kotak Pandora: apakah “biaya tambahan” itu legal, atau hanya dalih untuk menaikkan harga di luar ketentuan? Di sinilah batas antara “pelayanan” dan “pelanggaran” menjadi kabur.

Masalah Riil: Sinkronisasi Data yang Amburadual

Lebih dalam dari sekadar polemik harga, Aris justru menunjuk pada masalah klasik yang berulang: ketidaksesuaian antara kuota pupuk yang tersedia dengan data kebutuhan petani di lapangan.

“Saya berharap kepada Pemkab Garut agar memperbaiki pendataan RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) yang harus sesuai dengan kuota pupuk yang ada, karena para petani menganggapnya punya hak sesuai RDKK,” tegas Aris.

Menurutnya, jika data RDKK—yang menjadi dasar alokasi pupuk—tidak akurat, maka konflik antara petani yang merasa haknya dikurangi dan kios yang hanya membagikan berdasarkan kuota resmi akan terus terjadi. Kios terjepit di antara regulasi pemerintah dan tuntutan petani.

Distribusi Pupuk di Garut: Realitas Kuota vs Harapan Petani

Untuk memahami kompleksitasnya, berikut snapshot kondisi distribusi pupuk di Garut berdasarkan penjelasan Aris:

AspekKondisi Saat Ini (Desember 2025)Tantangan & Keterangan
Harga Pasar (Urea)Rp 1,800 – Rp 2,000/kg (Rp 90,000 – Rp 100,000/karung)Harga di atas Rp 1,800/kg sering dikaitkan dengan biaya transportasi tambahan dari kios ke kebun.
Kuota PhonskaMendapat relokasi tambahan 6,100 ton dari Provinsi Jabar (terbanyak se-Jabar).Kuota Desember terpisah dari Januari 2026. Kec. Kadungora mendapat alokasi 300 ton hingga akhir 2025.
Kuota UreaStabil, dengan realisasi penyaluran sekitar 50%.Tidak ada relokasi tambahan dari provinsi.
Sinkronisasi DataRDKK (data kebutuhan) kerap tidak sinkron dengan kuota nyata.Menyebabkan konflik: petani menuntut hak sesuai RDKK, sementara kios membagikan berdasarkan kuota yang diterima.

Mafia atau Sistem yang Kacau?

Dari lapangan, narasi “mafia” yang terstruktur tampak sulit dibuktikan. Yang lebih terlihat adalah simptom dari sistem distribusi yang rentan gesekan. Beberapa poin kritisnya:

  1. Transparansi Harga: Klaim “biaya tambahan” perlu standarisasi dan pengawasan ketat agar tidak menjadi celah manipulasi.
  2. Akurasi Data: Pemerintah daerah harus memastikan data RDKK akurat dan real-time untuk mencegah kesenjangan antara ekspektasi dan realitas kuota.
  3. Peran Pengawasan: Keberadaan pengawas independen di titik penjualan eceran (kios) sangat dibutuhkan untuk memastikan kepatuhan HET.

Jadi, yang terjadi di Garut mungkin bukan sekadar drama “mafia” hitam-putih, melainkan cerminan carut-marut kebijakan pertanian yang belum tuntas. Ketika data kacau, kuota tak pasti, dan aturan membuka ruang tafsir, maka siapa pun bisa menjadi “tersangka”—baik petani yang marah, kios yang terjepit, maupun oknum yang memang mencari keuntungan di tengah kegelapan informasi.

Mungkin, sebelum mencari “mafia”, pemerintah perlu terlebih dahulu membereskan “kekacauan” sistemnya sendiri. Jika tidak, isu serupa hanya akan berulang seperti musim tanam berikutnya. (AA)

Tinggalkan Balasan

banner-amdk-tirta-intan_3_1
previous arrow
next arrow