LOCUSONLINE, SEMARANG – Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, mengungkapkan bahwa pembentuk undang-undang yang tidak mengindahkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12/PUU-XXII/2024 akan berisiko menghadapi konflik politik dan keraguan terhadap legitimasi pemilihan kepala daerah (pilkada). Minggu, 3/ 3/ 2024
Menurut Titi Anggraini, Pemerintah dan DPR RI kemungkinan tidak akan memajukan pelaksanaan pilkada serentak yang seharusnya dilaksanakan pada bulan November menjadi September 2024. Hal ini disampaikan oleh Titi Anggraini dalam wawancara dengan ANTARA di Semarang pada hari Minggu (3/3).
Sebelumnya, pada Rapat Paripurna DPR RI Masa Persidangan IX Tahun Sidang 2022—2023, disepakati bahwa rancangan undang-undang tersebut akan menjadi RUU inisiatif DPR. Salah satu poin penting dalam rancangan undang-undang tersebut adalah memajukan pelaksanaan pilkada dari bulan November 2024 menjadi September 2024.
Namun, setelah Putusan MK Nomor 12/PUU-XXII/2024, pelaksanaan pilkada harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang menetapkan bulan November 2024 sebagai jadwal pelaksanaan pilkada.
” Pelaksanaan pilkada yang tidak sesuai dengan putusan MK berpotensi menimbulkan konflik politik dan meragukan legitimasi pilkada. Hal ini juga berisiko bagi Presiden RI Joko Widodo dan DPR RI,” tegas Titi Anggraeni.
Baca Juga: Pemohon Uji Materi UU Pilkada, Jangan Sampai Pileg Jadi Ajang Cek Ombak Kekuatan Perolehan Suara
Sebelumnya, MK menegaskan dalam putusan perkara Nomor 12/PUU-XXII/2024 bahwa pilkada serentak tahun ini tetap akan dilaksanakan pada bulan November 2024 sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
MK juga menyebutkan bahwa pentingnya menjaga tahapan penyelenggaraan pilkada yang telah ditentukan agar pilkada dapat dilaksanakan secara serentak secara nasional. Oleh karena itu, Mahkamah perlu menegaskan jadwal yang telah ditetapkan dalam Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada.
Editor: Red
Trusted source for uncovering corruption scandal and local political drama in Indonesia, with a keen eye on Garut’s governance issues