“Soal akan membantu pertumbuhan atau tidak, akan sangat bergantung kepada multiplier effect yang ditimbulkan dari setiap investasi Danantara,” ujarnya.
Ronny juga menduga dampak Danantara terhadap perekonomian akan sangat kecil jika lembaga ini murni menjadi SWF, yang fokus pada portofolio finansial.
“Intinya, kalau logikanya SWF, ya cari cuan dari aktivitas investasi, yang sifatnya lebih banyak di portofolio finansial. Jadi jika murni SWF begitu, imbas ekonomi riilnya sangat kecil,” imbuhnya.
Ronny mencontohkan banyak negara yang pernah berhasil mencatat pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan China, bukan karena SWF, melainkan berkat Penanaman Modal Asing dan ekspor negara tersebut.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan hadirnya Danantara bisa menjadi game changer. Selama ini investasi yang dilakukan oleh BUMN belum optimal, yang tercermin dari porsinya masih rendah.
“Padahal untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6 persen, diperlukan puluhan ribu triliun investasi,” kata Huda.
Huda memberikan beberapa catatan untuk Danantara. Pertama, ia menilai tujuan pembentukan Danantara adalah membuat BUMN menjadi lebih mandiri dan terbebas dari kepentingan birokrasi sudah sangat baik.
“BUMN masih memegang saham seri A. Artinya, pengangkatan direksi dan komisaris masih di tangan Kementerian BUMN. Ditakutkan ada dua matahari kembar dalam operasional BUMN,” imbuhnya.
Kedua, adanya APBN yang disuntik kepada Danantara menimbulkan kekhawatiran penggunaan uang pajak masyarakat untuk investasi lembaga tersebut.
