Kata kunci “setiap orang” menjadi fokus kritik. Istilah itu, menurut Chandra, mengaburkan esensi korupsi sebagai kejahatan jabatan. Dalam hukum internasional, terutama Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC), korupsi selalu dikaitkan dengan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik, bukan aktivitas warga sipil biasa.
“Kalau pasal ini diterapkan secara tekstual, siapa pun bisa dipidana. Petugas kebersihan yang ambil sisa barang negara, guru yang fotokopi soal tanpa izin dinas, bahkan penjual makanan kaki lima,” kata seorang akademisi hukum pidana yang enggan disebut namanya.
KPK dan Aparat Hukum Dinilai Salah Fokus
Dalam sidang uji materi yang sama, Amien Sunaryadi, mantan Wakil Ketua KPK, mengungkap data mengejutkan. Berdasarkan berbagai survei, bentuk korupsi yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah suap dan gratifikasi, bukan semata kerugian negara.
Namun anehnya, aparat penegak hukum dan lembaga auditor lebih sering mengedepankan penanganan kasus berdasarkan nominal kerugian negara ketimbang membongkar jaringan suap atau mafia kebijakan.
“Logika penindakan kita keliru. UU ini seharusnya menyasar suap — karena itulah korupsi sesungguhnya. Tapi kenyataannya, yang dikejar justru perkara-perkara administratif yang bisa dipaksakan menjadi korupsi,” kata Amien.
Amien juga menyinggung cara kerja aparat hukum yang cenderung ‘matematika semata’, yakni menghitung kerugian negara secara kasar tanpa melihat motif penyalahgunaan kekuasaan. Alhasil, banyak perkara yang semestinya masuk ranah etik atau administrasi, justru dipidanakan dengan menggunakan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor.
