“Apa yang terjadi di Cidahu adalah bentuk nyata dari persekusi. Dan ini bukan soal komunikasi, ini soal ideologi kebencian yang harus ditindak tegas secara hukum,” ungkap Usman.
Usman mengingatkan bahwa hak beragama adalah hak yang dijamin tak hanya oleh Konstitusi, tetapi juga oleh hukum internasional. Pasal 28E dan 29 UUD 1945 serta Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) secara eksplisit menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk dan menjalankan keyakinannya — tanpa ancaman intimidasi, apalagi perusakan tempat ibadah.
Ironisnya, negara yang seharusnya menjaga itu malah tampil sebagai mediator yang tergesa memberi maaf sebelum keadilan ditegakkan.
Tujuh tersangka kini dijerat Pasal 170 KUHP atas tindak pidana perusakan. Namun belum sempat proses pengadilan berjalan, suara untuk membebaskan mereka dari jeruji malah lebih nyaring dari komitmen melindungi hak korban.
Usulan penangguhan dan jalur damai yang digaungkan oleh pejabat KemenHAM dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap mandat konstitusi. Usman mendesak agar rencana tersebut segera dicabut, dan kasusnya dibawa ke meja hijau.
“Keadilan tidak akan tercapai jika negara lebih sibuk menenangkan pelaku ketimbang melindungi korban,” pungkasnya.
Ketika persekusi atas nama agama disulap menjadi sekadar kesalahpahaman, dan ketika negara tampil sebagai penengah alih-alih penegak, maka pertanyaannya bukan lagi apakah korban akan mendapatkan keadilan — tapi, seberapa lama lagi hingga negara benar-benar kehilangan akal sehatnya? (Bhegin)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”