“Di negeri ini, kematian bisa diperlakukan seperti gelar akademik. Ada yang dapat kehormatan S.H. (Selidiki Hebat), ada yang cuma cukup dengan RIP dan pengalihan isu. Bila hukum masih menilai nyawa dari status sosial dan lokasi jenazah, maka yang sebenarnya mati bukan cuma korban—tetapi nurani sistem itu sendiri”
LOCUSONLINE, GARUT – Dalam dunia kepolisian Indonesia, kematian bisa menjadi teka-teki panjang yang hanya Tuhan dan segelintir orang tahu jawabannya. Sisanya? Dihibur dengan istilah keren seperti scientific crime investigation mantra sakti yang seolah cukup untuk menenangkan publik, walau fakta di lapangan tetap kabur. Jumat, 25 Juli 2025
Kali ini, publik disuguhi kisah tragis seorang diplomat muda Kementerian Luar Negeri yang ditemukan tak bernyawa di kamar kos mewah kawasan Menteng. Wajahnya dibungkus plastik, lehernya dijerat lakban, dan CCTV merekamnya menyendiri di rooftop gedung kementerian. Sebuah adegan misteri yang layak masuk nominasi Festival Film Detektif Fiktif.
Namun tunggu dulu, jangan alihkan perhatian dari satu kematian misterius lain yang lebih sunyi, lebih senyap, dan lebih terabaikan: Dindin, guru asal Garut, yang ditemukan tewas mengenaskan di Cilacap. Tidak ada lakban. Tidak ada sorotan nasional. Tidak ada konferensi pers berselimut janji transparansi. Hanya tangis keluarga dan tanya yang dijawab dengan diam.
“Proses penyelidikan berjalan normal, tidak ada hambatan,” ujar Kombes Ade Ary, juru bicara Polda Metro Jaya, dengan ketenangan seorang motivator. Ia menekankan bahwa penyidikan sang diplomat dilakukan dengan pendekatan ilmiah, lengkap dengan 15 saksi, puluhan rekaman CCTV, dan para ahli forensik yang katanya “berkompeten”.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”