Namun hingga berita ini ditulis, tidak ada satu pun jawaban resmi dari DPRD. Dalam kacamata aktivis, sikap diam ini mencerminkan lemahnya fungsi pengawasan lembaga legislatif terhadap pelanggaran yang dilakukan korporasi besar.
“Kalau rakyat kecil yang melanggar, cepat sekali ditegur. Tapi kalau pengusaha besar, DPRD seolah kelilipan, tuli, dan tangannya lumpuh,” sindir Ridwan.
Ancaman Aksi dan Simbol Tiga Keranda
Kekecewaan memuncak. GLMPK mengancam akan menggelar aksi massa besar-besaran jika DPRD tetap tidak memberikan kepastian jadwal audiensi. Dalam aksinya nanti, mereka akan membawa tiga keranda mayat asli simbol matinya nurani tiga pejabat kunci Garut: Ketua DPRD, Bupati, dan Sekretaris Daerah.
“Kami akan paksa. Kalau lembaga pengawas tutup mata, rakyat akan buka mata lebar-lebar,” ujar Ridwan tegas.
Respons DPRD: “Masih Proses Internal”
Ketua DPRD Garut, Aris Munandar, S.Pd, saat dikonfirmasi, membenarkan bahwa surat audiensi pertama telah diterima dan sudah ditindaklanjuti oleh Komisi II.
“Komisi II sudah turun ke lapangan. Untuk keputusan, kami perlu pendalaman lebih lanjut, termasuk berkoordinasi dengan BBWS,” ujarnya.
Terkait surat audiensi kedua, Aris mengaku jadwalnya masih menunggu hasil rapat internal Komisi II.
Polanya Berulang: Kasus Besar, Tindakan Lambat
Kasus PT JIL menambah daftar panjang dugaan pelanggaran oleh perusahaan besar yang cenderung tidak ditangani secara cepat oleh lembaga pengawas daerah. Di beberapa kasus sebelumnya, pola yang sama muncul: pelanggaran teknis jelas terlihat, respons pemerintah lambat, dan masyarakat akhirnya turun tangan.
Pengamat hukum tata ruang dari Universitas Padjadjaran, Dr. Hendra S., menyebutkan bahwa lemahnya penegakan aturan sempadan sungai kerap menjadi pintu masuk pelanggaran berlapis.
“Begitu satu pelanggaran dibiarkan, pelanggaran berikutnya akan dianggap ‘normal’. Ini bahaya,” ujarnya.
Catatan Redaksi
Investigasi ini menunjukkan adanya celah pengawasan dan komunikasi antar-lembaga di Kabupaten Garut. Dugaan pelanggaran PT JIL bukan sekadar soal pembangunan fisik, melainkan cermin lemahnya fungsi kontrol DPRD dan Pemkab terhadap kekuatan ekonomi besar. Sementara rakyat kecil tetap tunduk pada aturan, para pemodal besar tampaknya bisa melenggang setidaknya untuk sekarang. (Red)

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”