NasionalNews

Upah Naik vs Ancaman PHK: Akankah Rumus Baru Jadi “Penolong” atau “Pemicu Efisiensi Tenaga Kerja”?

rakyatdemokrasi
×

Upah Naik vs Ancaman PHK: Akankah Rumus Baru Jadi “Penolong” atau “Pemicu Efisiensi Tenaga Kerja”?

Sebarkan artikel ini
Upah Naik vs Ancaman PHK. Akankah Rumus Baru Jadi Penolong atau Pemicu Efisiensi Tenaga Kerja locusonline featured image

Rumus Pengupahan 2026 Sudah Tetap: Mampukah Atasi Jurang Produktivitas dan Hempas Ancaman PHK?

JAKARTA — Setelah penantian panjang, pemerintah resmi menetapkan rumus baku kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk tahun 2026. Namun, di tengah optimisme meningkatkan kesejahteraan pekerja, sorotan tajam justru datang dari kalangan dunia usaha yang menyebut kebijakan ini berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

Rumus baru yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada Selasa (16/12) menetapkan kenaikan upah sebesar Inflasi + (Pertumbuhan Ekonomi x Alfa), dengan rentang nilai Alfa antara 0,5 hingga 0,9. Pemerintah menyebut formula ini lebih progresif, memberi fleksibilitas daerah, dan menjadi tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi yang menekankan pemenuhan Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

tempat.co

Meski demikian, para pengusaha menilai kenaikan ini tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas. “Mitigasi dan pembinaan oleh pemerintah perlu disiapkan. Khususnya bagi perusahaan yang memiliki keterbatasan agar penyesuaian upah minimum tidak langsung berujung pada efisiensi tenaga kerja,” tegas Ketua Dewan Pembina Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Harijanto, mengingatkan ancaman PHK.

Produktivitas vs Upah: Dua Grafik yang Berbeda Arah

Kekhawatiran pengusaha bukan tanpa data. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) mencatat, dalam lima tahun terakhir, produktivitas buruh hanya tumbuh sekitar 1,5% sampai 2% per tahun. Sebaliknya, upah minimum tumbuh jauh lebih tinggi, berkisar antara 6,5% sampai 10% per tahun pada periode 2020-2025.

“Ketidaksinkronan ini perlu menjadi perhatian bersama untuk menjaga iklim investasi yang kondusif dan menciptakan lapangan kerja formal,” ujar Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan Kadin, Subchan Gatot. Ia menambahkan, sinkronisasi pertumbuhan upah dengan produktivitas sangat penting untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga menyuarakan keprihatinan serupa. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, mengungkapkan bahwa Indeks Kaitz—rasio upah minimum terhadap upah rata-rata—di Indonesia telah menembus angka 1,0. Artinya, upah minimum nasional secara rata-rata telah lebih besar dari upah yang diterima seluruh tenaga kerja. Sebagai perbandingan, angka ini di negara-negara Asia Tenggara lain hanya berkisar 0,55-0,65.

“Dunia usaha tidak anti kenaikan upah. Namun kebijakan pengupahan perlu diarahkan untuk memperkuat daya tahan dunia usaha agar mampu menciptakan lapangan kerja formal yang berkualitas,” jelas Bob. Apindo sebelumnya mengusulkan rentang Alfa yang jauh lebih rendah, yaitu antara 0,1 sampai 0,5, untuk mempertimbangkan kemampuan dunia usaha.

Desakan Buruh: Rumus Baru Masih Jauh dari Kebutuhan Hidup Layak

Di seberang meja, serikat pekerja menilai rumus baru ini masih belum memadai. Meskipun rentang Alfa (0,5-0,9) lebih tinggi dari ketentuan sebelumnya (0,1-0,3), buruh menilai pendekatan ini terlalu teknokratis dan belum menjamin terpenuhinya Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai amanat putusan MK.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) misalnya, menuntut agar gubernur menggunakan Alfa maksimal 0,9. Untuk DKI Jakarta, dengan asumsi inflasi 2,86% dan pertumbuhan ekonomi 5,04%, Alfa 0,9 akan menghasilkan kenaikan UMP sebesar 6,9%, dari Rp5.396.761 menjadi Rp5.769.137.

“Kami kecewa atas keputusan tersebut bahwa rumus tersebut tidak mencerminkan dan tidak menjamin terpenuhinya Kebutuhan Hidup Layak (KHL) bagi pekerja dan keluarganya,” tegas Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) Mirah Sumirat. Serikat pekerja mendesak agar KHL menjadi acuan utama, bukan sekadar inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Proses Penetapan Daerah: Saatnya Gubernur Menentukan Pilihan

Dengan rumus pusat yang sudah baku, bola kini berada di pengadilan pemerintah daerah. PP Pengupahan mengamanatkan gubernur untuk menetapkan UMP 2026 masing-masing provinsi paling lambat 24 Desember 2025, berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan Daerah.

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menjelaskan bahwa fleksibilitas nilai Alfa ini dimaksudkan sebagai instrumen penyesuaian bagi daerah untuk mengurangi kesenjangan (gap) upah yang ada saat ini. Keputusan setiap gubernur dalam memilih nilai Alfa—apakah di batas bawah (0,5), tengah, atau atas (0,9)—akan sangat menentukan besaran riil kenaikan upah di wilayahnya dan menjadi ujian atas komitmen menyeimbangkan kesejahteraan buruh dengan keberlanjutan usaha.

Dalam dinamika tarik-ulur yang klasik ini, efektivitas rumus baru tidak hanya diukur dari persentase kenaikan, tetapi dari kemampuan seluruh pemangku kepentingan untuk menciptakan ekosistem yang mendorong produktivitas, sehingga kenaikan upah tidak menjadi beban yang berujung pada pengurangan tenaga kerja. (**)

Tinggalkan Balasan

banner-amdk-tirta-intan_3_1
previous arrow
next arrow