LOCUSONLINE, JAKARTA — Dua pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yakni Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, kini menjadi sorotan tajam. Pasalnya, dua ketentuan ini dinilai terlalu lentur, multitafsir, dan bisa menjerat siapa saja — termasuk pedagang kecil di pinggir jalan. Demikian salah satu kesaksian mengejutkan dari ahli hukum Chandra Hamzah dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi, Rabu (18/6/2025).
Chandra, mantan Wakil Ketua KPK, menyebut bahwa rumusan delik dalam dua pasal tersebut membuka ruang tafsir yang berbahaya. Dalam skenario ekstrem, seorang penjual pecel lele yang berjualan di atas trotoar bisa dipidana sebagai koruptor.
“Penjual pecel lele itu masuk kategori ‘setiap orang’. Ia melanggar hukum karena menguasai trotoar — fasilitas negara. Ia juga mencari keuntungan sendiri dari perbuatan itu. Maka unsur memperkaya diri, melawan hukum, dan merugikan negara bisa dikonstruksi semua,” ujar Chandra di ruang sidang MK.
Pernyataan ini tentu mengejutkan publik. Jika logika hukum seperti ini diterapkan secara membabi buta, maka bukan hanya politisi korup, melainkan rakyat kecil pun bisa digulung oleh pasal-pasal karet dalam UU Tipikor.
Anatomi Pasal Bermasalah: Kabur, Lentur, dan Berbahaya
Tim investigasi menelusuri isi Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Pasal itu menyebutkan bahwa “setiap orang” yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana penjara minimal 4 tahun.
Begitu pula Pasal 3, yang menjerat “setiap orang” yang menyalahgunakan kewenangan untuk tujuan yang sama.
