“Garut memang ramah anak, sejauh anak-anak tidak ikut dengar rapat anggaran.”
LOCUSONLINE, GARUT – Auditorium Ciplaz Garut, Rabu (5/11/2025), berubah jadi lautan warna. Bukan karena mural sosial politik, tapi karena 600 anak TK sedang memegang krayon simbol paling damai di tengah hiruk-pikuk dunia orang dewasa. Acara itu bernama Gerakan Garut Ramah Anak, digelar oleh Radar Garut dengan dukungan Pemkab Garut. Isinya, seperti biasa: pidato pejabat, tepuk tangan sopan, lalu lomba mewarnai.
Sekretaris Daerah Garut, Nurdin Yana, membuka acara dengan gaya khas birokrat yang sedang berusaha terdengar hangat. Ia menyebut kegiatan ini “bentuk proteksi bagi anak-anak di tengah gempuran isu sosial di media.”
“Radar Garut menggagas acara ini bersama Polres dan DPPKBPPPA. Ini proteksi nyata untuk anak-anak kita. Semoga jadi contoh bagi lembaga lain,” katanya, disambut tepuk tangan yang lebih pelan dari musik latar.
Nurdin tampak serius membahas keseimbangan otak kiri-kanan anak, seolah menghadapi rapat kerja ilmuwan. Ia menjelaskan pentingnya aspek “psikologis, kognitif, afektif, visual, dan psikomotorik,” lalu mengingatkan bahwa ilmu tak hanya untuk anak-anak, tapi juga untuk orang tua pesan klasik yang sering diulang, tapi jarang dipraktikkan.
“Keterampilan seni itu penting untuk tumbuh anak,” ujarnya. Sayangnya, di luar auditorium, jalanan penuh spanduk politik yang jauh dari estetika.
Baca Juga :
Sampah, Cermin Diri yang Kita Hindari Tapi Kita Ciptakan Tiap Hari
Sementara itu, Ketua IGTKI Garut, Tati Nurbaeti, menambahkan bahwa anak-anak perlu dilatih mandiri, percaya diri, dan beradab. Kalimat yang sama sudah muncul di banyak seminar parenting sejak Orde Baru, tapi kali ini terdengar lebih manis karena dibarengi lomba mewarnai.
“Melalui kegiatan ini anak-anak kita dilatih mandiri dan percaya diri,” katanya, sambil sesekali menatap peserta yang sibuk menggambar pelangi.
Muhammad Erfan, penanggung jawab acara, melaporkan bahwa kegiatan ini diikuti 600 anak TK, lengkap dengan diskusi panel, pentas seni, dan jargon pentahelix kolaborasi antara pemerintah, media, pendidik, dan pelaku usaha. Semua pihak hadir, kecuali mungkin satu elemen penting: suara anak-anak itu sendiri.

“Jangan tunggu mampu dulu untuk memberi, tidak usah sempat dulu untuk berbuat baik”














