[Locusonline.co, New York/Jakarta] – Dalam sebuah langkah yang menarik perhatian pasar modal global dan memicu analisis beragam, raksasa manajemen aset dunia, BlackRock Inc., kembali memperbesar cengkeramannya di salah satu emiten batu bara terbesar Indonesia, PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Aksi akumulasi oleh pengelola aset senilai lebih dari US$ 10 triliun ini terjadi di tengah volatilitas harga komoditas dan tekanan global terhadap transisi energi.
Berdasarkan data Bloomberg hingga perdagangan Senin (8/12/2025), kepemilikan BlackRock pada saham BUMI membengkak menjadi 1,91 miliar saham, naik dari posisi akhir November yang sebesar 1,89 miliar saham. Pembelian inkremental terbaru tercatat 17.956 lembar pada hari Senin tersebut. BlackRock pertama kali masuk ke dalam struktur kepemilikan BUMI pada Maret 2024 dengan harga rata-rata Rp102 per saham.
Kinerja Saham yang Meledak: Faktor BlackRock atau Fundamental?
Aksi BlackRock ini seolah mendapat “pembenaran” dari performa saham BUMI yang luar biasa moncer. Hingga penutupan perdagangan Rabu (10/12/2025), saham BUMI meroket hampir 20% ke level Rp326 per saham. Secara bulanan, saham ini telah merangkak naik sekitar 131%, dan sejak awal tahun 2025 telah melesat lebih dari 176%.
Geliat tersebut juga tercermin dari likuiditas yang panas. Total nilai transaksi saham BUMI pada November 2025 mencapai Rp39,53 triliun—angka yang hampir empat kali lipat lebih tinggi dari Oktober (Rp10,50 triliun) dan tercatat sebagai transaksi bulanan tertinggi dalam satu dekade terakhir. Fenomena ini memicu spekulasi: apakah kenaikan ini murni didorong oleh minat investor global seperti BlackRock, atau ada sentimen fundamental yang lebih kuat?
Membaca Strategi BlackRock: Kontradiksi atau Kalkulasi?
Langkah BlackRock, yang juga dikenal dengan advokasi kuatnya melalui inisiatif ESG (Environmental, Social, and Governance), mengundang tafsir berlapis. Di satu sisi, firma ini aktif mendorong perusahaan portofolionya untuk bertransisi ke energi bersih. Di sisi lain, aksi akumulasinya di sektor batu bara seperti BUMI dianggap oleh beberapa pengamat sebagai “strategi hedging” atau investasi nilai (value investing) dalam siklus komoditas.
“BlackRock mengelola uang dalam skala triliunan dolar. Portofolionya pasti sangat terdiversifikasi. Posisi di BUMI bisa jadi adalah bagian dari strategi eksposur terukur terhadap aset komoditas yang dinilai undervalued tetapi memiliki prospek arus kas kuat dalam jangka pendek-menengah,” kata Maya Sari, Kepala Riset di Capital Sekuritas Indonesia, kepada media ini.
Membedah Kinerja Keuangan BUMI
Di balik sorotan pasar, kinerja operasional BUMI menunjukkan ketahanan. Hingga September 2025, pendapatan perusahaan tumbuh 11,9% year-on-year (yoy) menjadi US$ 1,03 miliar. Yang lebih mengesankan, laba usaha (operating profit) melonjak 231,9% menjadi US$ 84,4 juta, berkat efisiensi biaya pokok pendapatan (naik 5,1%) dan disiplin pengelolaan beban usaha (naik 12,8%).
Namun, laba bersih yang tercatat US$ 60,1 juta justru turun 56% dari periode sama tahun sebelumnya (US$ 136,4 juta). Penurunan ini diduga kuat karena beban finansial dan faktor non-operasional lainnya. Dalam keterangan resmi (1/11/2025), manajemen BUMI menyoroti pencapaian profitabilitas operasional yang positif dengan margin membaik “berkat efisiensi dan pengelolaan biaya yang disiplin” di tengah harga batu bara yang menantang.
Prospek dan Strategi ke Depan
Secara operasional, BUMI tetap solid. Produksi batu bara 9 bulan pertama 2025 mencapai 54,9 juta ton dengan penjualan 54,5 juta ton. Untuk tahun ini, perusahaan menargetkan penjualan 73-75 juta ton dengan harga rata-rata US$59-61 per ton.
Yang patut dicatat, dalam pernyataannya, BUMI tidak hanya berfokus pada batu bara. Perusahaan menegaskan komitmen untuk “mendukung strategi diversifikasi ke sektor mineral penting” guna memperkuat portofolio usaha jangka panjang. Pernyataan ini sejalan dengan tren strategis grup tambang Indonesia yang mulai melirik nikel, tembaga, dan mineral baterai lainnya.
Momen Kebangkitan atau Puncak Siklus?
Keputusan BlackRock mengakumulasi BUMI telah menyulut lampu sorot pada emiten ini. Apakah ini pertanda bahwa pasar mulai melihat nilai intrinsik perusahaan di luar narasi “penghilangan” (phase-out) batu bara? Atau, ini hanyalah permainan siklus komoditas jangka pendek sebelum transisi energi benar-benar menguasai panggung?
Jawabannya mungkin terletak pada kemampuan BUMI mempertahankan efisiensi operasionalnya sambil secara konkret menjalankan diversifikasi ke mineral masa depan. Bagi investor ritel, euforia saat ini perlu diimbangi dengan kehati-hatian, mengingat volatilitas harga komoditas dan dinamika regulasi global yang masih penuh ketidakpastian. Satu hal yang pasti: ketika raksasa seperti BlackRock beraksi, seluruh pasar akan mendengarkan. (**)













